Tahun Baru: Rutinitas Seremonial dan Tanggung Jawab Etika

Tahun Baru: Rutinitas Seremonial dan Tanggung Jawab Etika

Reporter: Opini | Editor: Admin
Tahun Baru: Rutinitas Seremonial dan Tanggung Jawab Etika
Agus Setyono ( dok pri)

Oleh: Agus setiyono

Tahun baru sejatinya adalah sebuah rutinitas alamiah. Ia hadir bukan karena undangan manusia, melainkan karena hukum kosmik yang tak pernah ingkar: bumi menuntaskan satu putaran, kalender berganti angka, dan waktu terus melaju tanpa menoleh ke belakang. Dalam perspektif ini, tahun baru tidak lebih dari penanda administratif bagi perjalanan waktu—netral, sunyi, dan objektif.

Baca Juga: Memperkaya Muhammadiyah, Bukan Mencari Kekayaan di Muhammadiyah

Namun manusia, dengan kecenderungan simbolik yang kuat, kerap menyambut rutinitas itu dengan kemeriahan berlebihan. Tahun baru dirayakan seolah ia membawa mukjizat perubahan instan. Terompet ditiup, kembang api dinyalakan, resolusi disusun panjang, tetapi refleksi justru sering ditinggalkan. Kita sibuk mengubah angka, namun enggan mengubah sikap.

Tak jarang, perayaan tahun baru berubah menjadi ritual seremonial yang miskin makna dan minim faedah. Ia ramai di permukaan, tetapi dangkal di kedalaman. Media sosial penuh dengan narasi harapan, sementara statistik kegagalan resolusi tahun sebelumnya nyaris tak pernah menjadi bahan perenungan. Paradoks kehidupan bekerja diam-diam: manusia merayakan perubahan waktu, tetapi mempertahankan kebiasaan lama dengan penuh keyakinan.

Ironi ini terasa semakin nyata ketika tahun baru datang bersamaan dengan duka yang belum usai. Di berbagai sudut negeri, saudara-saudara kita tengah menghadapi dampak bencana alam. Ada yang kehilangan rumah, pekerjaan, bahkan orang-orang tercinta. Bagi mereka, tahun baru bukan tentang perayaan, melainkan tentang bertahan hidup di tengah keterbatasan dan ketidakpastian.

Di sinilah persoalan etika dan kepekaan moral menemukan urgensinya. Tidak semua kegembiraan layak diekspresikan tanpa batas. Dalam nilai-nilai keislaman, kegembiraan tidak boleh berdiri di atas penderitaan orang lain. Rasulullah SAW menempatkan empati sebagai fondasi persaudaraan; iman seseorang belum sempurna hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Merayakan tahun baru secara berlebihan di tengah duka kolektif bukan semata soal tradisi atau selera, melainkan soal adab. Ada jarak moral yang perlu dijaga antara pesta dan penderitaan. Ketika sebagian orang menyalakan kembang api, sebagian lainnya justru memandangi langit dengan kecemasan, berharap hujan tidak kembali turun di atas tenda darurat.

Dari sudut pandang ilmiah, masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang memiliki *social awareness*—kesadaran kolektif bahwa kebahagiaan individual tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial di sekitarnya. Sementara dalam perspektif Islam, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Dua pendekatan ini bertemu pada satu titik: kepedulian sebagai ukuran kemajuan peradaban.

Tahun baru semestinya menjadi momentum muhasabah bersama. Bukan hanya bertanya apa yang ingin kita capai, tetapi juga apa yang telah kita abaikan. Bukan sekadar menyusun resolusi personal, melainkan menumbuhkan komitmen sosial. Mengurangi kegaduhan, memperbanyak doa. Mengurangi euforia, memperkuat empati.

Pada akhirnya, tahun baru tidak menuntut perayaan besar, melainkan kesadaran yang lebih dewasa. Kesadaran bahwa waktu tidak pernah memperbaiki manusia; manusialah yang memperbaiki dirinya melalui cara ia mengisi waktu. Jika tidak, tahun baru akan terus menjadi rutinitas tahunan—dirayakan dengan gegap gempita oleh sebagian, dan disambut dengan air mata oleh mereka yang sedang berduka.

Di titik inilah etika kemanusiaan seharusnya berdiri paling depan, membimbing kita agar tetap beradab, bahkan ketika menyambut sesuatu yang kita sebut sebagai awal yang baru.

*Penggiat Dakwah Online Jambi

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Kabar Lainnya

Kabar Lainnya