Distorsi Kewenangan dan Peran Tenaga Ahli dalam Jambi Mantap 2029

Distorsi Kewenangan dan Peran Tenaga Ahli dalam Jambi Mantap 2029

Reporter: Opini | Editor: Admin
Distorsi Kewenangan dan Peran Tenaga Ahli dalam Jambi Mantap 2029
Noviardi Ferzi (dok)

Oleh : Noviardi Ferzi

Menempatkan tenaga ahli gubernur sebagai pihak yang “membongkar resep menghadapi trilema pembangunan” menuju Jambi Mantap 2029 bukan sekadar persoalan gaya komunikasi media, melainkan kekeliruan serius dalam memahami tata kelola pemerintahan daerah. Narasi ini berpotensi menyesatkan publik karena mengaburkan batas kewenangan, melemahkan akuntabilitas, dan menciptakan ilusi bahwa arah pembangunan daerah ditentukan oleh aktor non-struktural.

Baca Juga: Tengku Nazli : Tidak Patut Gubernur Mengangkat Mantan Koruptor Jadi Ketua Proyek Biocarbon Fund.

Dalam sistem hukum administrasi negara, kewenangan tidak lahir dari kepakaran, popularitas, atau ruang publik, melainkan dari atribusi, delegasi, atau mandat yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tenaga ahli gubernur tidak memiliki ketiganya.

Merujuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah secara tegas melekat pada Gubernur sebagai kepala daerah (Pasal 65), serta dijalankan oleh Perangkat Daerah yang sah, termasuk Bappeda sebagai unsur perencana pembangunan. Tenaga ahli tidak termasuk dalam nomenklatur perangkat daerah, tidak menduduki jabatan struktural maupun fungsional, dan tidak memiliki kewenangan atributif untuk merumuskan, menetapkan, atau mengarahkan kebijakan pembangunan.

Baca Juga: Dumisake dan Transformasi Digital

Lebih jauh, dalam praktik pemerintahan, delegasi dan mandat hanya dapat diberikan kepada pejabat atau unit dalam struktur pemerintahan resmi. Tenaga ahli berada di luar struktur tersebut. Peran mereka terbatas pada pemberian masukan, kajian, dan alternatif kebijakan atas permintaan kepala daerah. Mereka tidak berwenang mengeksekusi, menandatangani, mewakili kebijakan, atau tampil sebagai arsitek pembangunan. Ketika tenaga ahli diposisikan seolah-olah menjadi pemegang solusi strategis, maka itu telah masuk wilayah ultra vires—bertindak melampaui kewenangan hukum.

Narasi “resep menghadapi trilema pembangunan” juga menunjukkan penyederhanaan yang problematik. Trilema pembangunan—baik dimaknai sebagai pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan keberlanjutan—bukan persoalan retorika atau konseptual semata. Ia adalah masalah struktural yang bergantung pada kapasitas fiskal daerah, kualitas belanja APBD, konsistensi RPJMD, efektivitas OPD, serta kepemimpinan gubernur dalam menetapkan prioritas. Tidak satu pun dari variabel ini berada dalam kendali tenaga ahli.

Baca Juga: 77.085 Orang Terima Bantuan Dumisake Kesehatan Jambi Mantap

Secara regulatif, Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 menegaskan bahwa dokumen perencanaan pembangunan daerah—RPJPD, RPJMD, dan RKPD—disusun melalui pendekatan teknokratik, partisipatif (Musrenbang), politis (visi-misi kepala daerah), serta mekanisme top-down dan bottom-up. Seluruh proses ini dilaksanakan oleh Bappeda dan OPD, disahkan oleh kepala daerah, dan memperoleh legitimasi melalui DPRD. Tidak ada satu pasal pun yang memberi ruang kepada tenaga ahli untuk tampil sebagai aktor utama perencanaan pembangunan.

Masalah yang lebih serius adalah pengaburan akuntabilitas publik. Dalam sistem demokrasi, pihak yang bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan pembangunan adalah Gubernur dan perangkat daerahnya, dengan DPRD menjalankan fungsi pengawasan. Bukan tenaga ahli. Ketika tenaga ahli dijadikan wajah kebijakan, maka tanggung jawab politik dan administratif menjadi kabur, dan prinsip good governance dirusak secara sistematis.

Menuju Jambi Mantap 2029, yang dibutuhkan bukanlah figurisasi kelompok tenaga ahli atau narasi heroik individual, melainkan disiplin kelembagaan. Ukurannya jelas: kualitas perencanaan Bappeda, efektivitas kinerja OPD, konsistensi RPJMD, keberanian gubernur mengambil keputusan, serta transparansi dan pengawasan DPRD. Tenaga ahli seharusnya bekerja di balik layar, memperkuat kualitas kebijakan, bukan mengambil alih ruang legitimasi yang secara hukum bukan miliknya.

Jika batas peran ini terus dibiarkan kabur, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar kekeliruan narasi, melainkan legitimasi tata kelola pemerintahan daerah itu sendiri. Pembangunan tidak boleh digerakkan oleh aktor tanpa kewenangan, dan visi Jambi Mantap 2029 tidak boleh bertumpu pada peran yang secara hukum tidak memegang kendali apa pun.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Kabar Lainnya

Kabar Lainnya