Perut Buncit Bukan Sekadar Gemuk, Ini Bahaya Obesitas Sentral Menurut Pakar Gizi UGM

s tumbuh kembang manusia, status gizi menjadi salah satu indikator penting untuk menilai kondisi kesehatan tubuh

Reporter: UGM | Editor: Ulun Nazmi
Perut Buncit Bukan Sekadar Gemuk, Ini Bahaya Obesitas Sentral Menurut Pakar Gizi UGM
Risiko kesehatan sangat ditentukan oleh pola penumpukan lemak di dalam tubuh || Dok UGM

KABAR18.COM - Proses tumbuh kembang manusia, status gizi menjadi salah satu indikator penting untuk menilai kondisi kesehatan tubuh. Di antara kategori status gizi tersebut, obesitas merupakan kondisi yang paling berisiko karena tidak hanya menunjukkan kelebihan berat badan, tetapi juga berkaitan erat dengan berbagai penyakit serius.

Pakar Gizi UGM, Dr. Mirza Hapsari Sakti Titis Penggalih, S.Gz., Dietisien, MPH, menyampaikan bahwa jenis obesitas ini tidak selalu sama pada setiap orang. Risiko kesehatan sangat ditentukan oleh pola penumpukan lemak di dalam tubuh, salah satunya adalah ketika lemak terakumulasi di area perut, atau yang dikenal sebagai perut buncit atau Obesitas Sentral.

Baca Juga: Wakapolda Jambi Gelar Pertemuan Bersama Pengurus IDI Jambi

Untuk memahami obesitas sentral, ujar Mirza, perlu terlebih dahulu memahami konsep status gizi. Status gizi ditentukan berdasarkan rasio antara tinggi badan dan berat badan yang dikenal sebagai Indeks Massa Tubuh (IMT). Standar WHO membagi status gizi menjadi kurus, normal, overweight, hingga obesitas. Namun perlu diingat bahwa IMT hanya menunjukkan jumlah lemak tubuh secara umum, bukan lokasi penumpukannya. “Kalau pakai standar WHO, normal itu IMT 18 sampai 23, overweight 23 sampai 25, dan di atas 25 itu sudah obesitas. Yang paling berbahaya itu yang nilainya sudah di atas 30,” ujarnya, Rabu (17/12).

Perbedaan lokasi penumpukan lemak inilah yang membedakan obesitas sentral dengan obesitas lainnya. Penilaian obesitas sentral pun tidak cukup hanya menggunakan IMT. Lingkar perut yang ada diatas 90 menjadi indikator penting. Pada perempuan, hormon estrogen menyebabkan lemak tersebar di berbagai bagian tubuh seperti lengan, dada, paha, pinggul, dan perut. Sementara pada laki-laki, obesitas sentral lebih sering terjadi karena penumpukan lemak cenderung terpusat di perut karena tidak adanya estrogen.

Baca Juga: Sempat Vakum, Akhirnya Pengurus PMI Batanghari Dibentuk Lagi dan Dilantik

Obesitas sentral ini menjadi perhatian serius karena berkaitan erat dengan sindrom metabolik karena lemak banyak menumpuk di perut. Sindrom metabolik ini ditandai dengan peningkatan gula darah, tekanan darah tinggi, serta kolesterol yang tidak normal. Ketika kondisi ini berlanjut, risiko penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, penyakit jantung koroner, dan hipertensi pun meningkat. “Kalau biokimia di dalam darah sudah bermasalah, nanti akan muncul berbagai penyakit tidak menular lain yang akhirnya berisiko juga pada kematian,” katanya.

Secara alami, obesitas sentral lebih sering muncul pada usia di atas 40 tahun karena faktor hormonal. Hormon menjadi faktor adanya penumpukan lemak, memang risikonya terjadi pada usia di atas 40, terutama pada perempuan. Namun, kondisi ini bisa muncul lebih dini akibat gaya hidup tidak sehat sejak usia muda. Pada kelompok usia muda, faktor utama obesitas sentral adalah kurangnya aktivitas fisik dan pola makan tinggi gula, garam, dan lemak. Asupan berlebih ini akan disimpan tubuh sebagai lemak dan mengubah metabolisme.

Baca Juga: SKK Migas Raih Gold Rank Pada ASRRAT 2025

Untuk mengatasi obesitas, Mirza menekankan pentingnya untuk mengubah pola pikir terlebih dahulu sebelum melakukan diet. Penurunan berat badan harus dipahami sebagai proses jangka panjang yang membutuhkan kesabaran dan konsistensi. Setelah itu, barulah pola makan diperbaiki sesuai usia dan kebutuhan tubuh, dengan mengurangi gula, garam, dan lemak serta meningkatkan konsumsi buah dan sayur. “Mindset yang harus dibangun adalah ini ‘turning point saya, saya mau berubah.’ Kalau nggak ada ini, mau sebagus apa pun programnya tidak akan masuk,” tegasnya.

Lebih lanjut, Mirza menyampaikan bahwa pada usia muda, metabolisme yang masih baik memungkinkan berat badan terkoreksi lebih cepat ketika pola makan dan aktivitas fisik diperbaiki. Namun pada usia di atas 40 tahun, metabolisme melambat sehingga diperlukan strategi tambahan seperti pengaturan jendela makan atau Intermitten Fasting (IF). Meski demikian, ia menekankan bahwa setiap intervensi harus bersifat personal dan didampingi tenaga profesional, karena kondisi kesehatan setiap individu berbeda.

Terakhir, Mirza menyampaikan bahwa tanpa perubahan gaya hidup yang konsisten, kondisi ini dapat berkembang menjadi berbagai penyakit kronis yang mengancam kualitas hidup. “Apa yang kita investasikan ke dalam tubuh kita hari ini, itulah yang akan kita tuai sebagai penyakit atau kesehatan di masa depan,” pungkas Mirza.

(Sumber : Universitas Gadjah Mada)

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Kabar Lainnya

Kabar Lainnya